The Crawlspace
Retold and translated by –Jason-
Source : Creepypasta
Credit To – Kaitie H.
Hi semuanya. Kukira kalian bisamenyebut tulisanku ini sebagai sebuah kisah peringatan kepada siapapun yang berencana untuk bersekolah diluar negeri dimasa mendatang. Aku tidak bermaksud mengecilkan semangat kalian untuk melakukannya, namun aku hanya ingin agar kalian lebih berhati-hati akan sesuatu sehingga hal ini tidak terjadi pada kalian juga. Kurasa aku harus menjelaskan sedikit disini. Musim panas yang lalu aku terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar antar negara yang rencananya akan berpusat di Roma selama beberapa bulan. Seperti yang lainnya, tentu saja aku girang bukan main. Aku belum pernah keluar negeri selama ini, maka hal ini akan menjadi sebuah petualangan yang sangat menantang bagiku.
Dalam minggu-minggu berikutnya yang penuh kebahagiaan, aku megepak semua barang yang bisa masuk kedalam kopor. (Kuakui aku terlalu banyak membawa barang untuk perjalanan ini.) awalnya aku sungguh merasa sangat gugup untuk meninggalkan kedua orang tuaku, namun disisi lain aku juga sudah tidak sabar untuk segera pergi untuk menikmati kebebasan selama berada di Eropa. Sebelum aku sadar, kedua orangtuaku sudah mengantarkanku ke airport, dan aku sudah berada didalam pesawat, terbang selama 19 jam lamanya menuju Roma.
Meskipun lama dan membosankan, penerbangan ini tidak terlalu buruk. Ketika keluar dari airport, aku disambut oleh supervisor program dan beberapa pelajar lain seumuranku yang sama gembiranya sepertiku. Mereka meupakan para pelajar yang akan belajar bersama denganku. Kami kemudian menghadiri pertemuan orientasi, setelah itu kami mengambil kunci apartemen masing-masing.
Pada bulan-bulan sebelum semuanya dimulai, kami diharuskan mengakrabkan diri dengan masing-masing teman satu kamar, begitu juga mengenai masalah penentuan tempat yang cocok bagi kami semua. Aku satu kelompok dengan tiga gadis lainnya. Mereka cukup baik dan cukup membuatku betah dan merasa diterima walaupun tidak dipungkiri agak susah juga untuk mengakrabkan diri pada awalnya. Tapi aku berusaha mengabaikan keterasinganku, semakin kedepan, semuanya menjadi semakin lebih baik. Kami semua memiliki rencana pengeluaran yang hampir sama, tidak ada satupun dari kami yang memiliki uang berlebih. Karena hal ini kami semua berusaha mencari apartemen semurah mungkin untuk kami tinggali.
Setelah beberapa hari mencari, kami menemukan sebuah iklan mengenai sebuah apartemen kuno yang terletak di Campo di Fiori. Tempat ini berada di lokasi utama dan kami sungguh tidak percaya bahwa tempat ini masih belum ada yang menyewanya, belum lagi harga yang tertera sungguh sangat murah. Hal ini sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar dikepalaku. Tempat ini begitu besarnya tapi uang sewanya lebih murah dari apartemen terkecil yang berada ditempat yang kurang begitu diminati. Namun apapun alasan yang muncul, semua itu terkalahkan oleh kegembiraan yang melanda para gadis muda. Mereka sudah menetapkan tempat tersebut sebagai apartemen mereka sehingga aku tidak punya pilihan lain.
Masing-masing dari kami menerima kunci, beserta sebuah peta agar kami tidak tersesat. Karena tempat ini berada di lokasi favorit, tidak butuh waktu lama sampai akhirnya kami tiba disana. Campo sangat menakjubkan. Pada siang hari, tempat ini diramaikan oleh hiruk pikuk pasar, sedangkan pada malam hari tempat ini diramaikan oleh atraksi jalanan. Semua apartemen yang mengelilingi tempat ini kebanyakan memang bergaya kuno, sehingga tempat kami tidak begitu mencolok sebenarnya. Setelah mengelilingi alun-alun beberapa kali, kami akhirnya menemukan nomor apartemen yang terpaku didepan sebuah kayu tua besar. Disinilah kami akan tinggal selama tiga bulan kedepan.
Aku harus berjuang keras untuk membuka pintu kokoh ini menggunakan kunciku. Pintu kayu besar dan tebal tersebut kemudian terbuka dengan suara deritan yang menyertai. Didepan kami menunggu sebuah tangga memutar. Kami saling berpandangan, terperangah. Kami tidak memperhitungkan kenyataan bahwa bangunan ini dibangun saat lift masih merupakan hal yang asing. Dengan masing-masing tangan menggenggam barang barang, kami berdiri didepan pintu kediaman baru kami, tiga set anak tangga yang tampak akan melelahkan dan beberapa keluhan kami simpan dulu. Kembali aku harus bekerja ekstra keras untuk membuka kunci pintu. Begitu pintu depan terbuka, para gadis langsung rebut, merebutkan ruangan paling bagus. Apartemen ini memiliki tiga ruang tidur, yang berarti bahwa dua diantara kami harus berbagi ranjang. Aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, kubiarkan yang lain saling berlomba. Ketika semuanya reda, diputuskan bahwa akulah yang harus berbagi kamar dengan seorang gadis dalam kelompok bernama Stephanie. Tidak masalah bagiku. Stephanie merupakan gadis yang cukup baik dan pendiam, sosok ideal bagiku sebagai teman sekamar.
Selama sisa hari itu kami menjelajahi tiap sudut apartemen baru kami. Ada dua kamar mandi, satu set penuh dapur, dan satu ruang tamu dimana terdapat sebuah TV kuno didalamnya. Sekali lagi aku merasa tidak nyaman. Bagaimana bisa apartemen sebesar ini disewakan dengan harga yang begitu murah? Namun sebelum aku merampungkan keherananku, sebuah pekikan mengalihkan semuanya. Reaksi pertama yang muncul sebenarnya adalah rasa panic, namun kemudian ternyata pekikan tersebut adalah suara teman-temanku yang menjerit girang. Pada bagian bawah menjelang ujung apartemen, dekat dengan pintu depan, nampaknya terdapat bagian lain dari bangunan ini yang luput dari perhatian kami. Aku mengikuti suara tersebut yang ternyata mengarahkanku pada sebuah lorong panjang dan gelap. Diujung sana, dibelakang kumpulan teman-temanku yang sedang berisik, terdapat sebuah mesin cuci dan alat pengering. Mungkin bagi kalian hal ini tidak begitu penting, namun harus aku jelaskan disini bahwa barang-barang tersebut merupakan barang-barang yang sangat langka di Roma. Umumnya para pelajar yang mengikuti program pertukaran harus mencuci baju mereka secara manual, dengan tangan mereka sendiri. Kehadiran benda-benda mewah ini cukup aneh, apalagi berada di sebuah apartemen murah.
Pekikan girang lain kembali terdengar ketika para gadis melihat sebuah pintu berdekatan dengan mesin cuci. Dibalik pintu tersebut terdapat sebuah kamar mandi utama yang besar. Ruangan ini memiliki sebuah balkon, bathtub claw-foot, bahkan terdapat sebuah bidet pula. Tidak perlu terkejut ketika mereka mulai berebut kembali. Cukup heran sebenarnya bagiku, kenapa kami tidak saling berbagi saja? namun nampaknya bagi mereka, klaim atas kepemilikan pribadi property ini begitu penting. Ketika semua berakhir, ruangan ini diputuskan untuk menjadi milikku. Dengan penjelasan logis, Stephanie mengatakan bahwa kali ini adalah giliran kami, sebab yang lain sudah memiliki kamar tidur sendiri sedangkan aku dan dia harus saling berbagi kamar, maka cukup adil rasanya jika kami berdua memiliki kamar mandi ini. harus kuakui, awalnya aku cukup senang juga, bagaimanapun kamar mandi ini sangatlah indah. Namun selang beberapa minggu kedepan, aku semakin merasakan tidak nyaman tiap kali berada di ruangan tersebut. Aku tidak bisa menggambarkannya lewat kata-kata. Tiap kali memasukinya, aku merasa sepasang mata mengawasiku. Bukan masalah klasik tersebut yang selalu menyebabkanku merasa takut. Namun aku merasa, apapun yang mengawasiku tersebut, sungguh merasa marah, serasa bahwa hal tersebut tidak senang aku berada disana sehingga hendak melukaiku.
Aku mulai melakukan segala sesuatunya agar bisa menghindari tempat itu. Terkadang aku meminta ijin pada Alisha untuk menggunakan kamar mandinya. Kerapkali aku mengarang alasan konyol bahwa untuk menuju kesana sungguh terlalu jauh, lebih dekat bagiku untuk menggunakan miliknya. Dengan senang dia mengijinkan, sebab disisi lain aku juga mengatakan padanya bahwa dia bisa menggunakan kamar mandiku kapanpun yang dia mau. Hal ini cukup berhasil selama beberapa waktu. Selama sekitar dua bulan pertama dari kunjunganku ini, aku berhasil menghindari ruangan menyeramkan itu. Hingga akhirnya pada bulan terakhir semuanya mulai erkuak. Pada suatu malam aku bersiap untuk menggosok gigi, namun Alisha sudah mengunci kamarnya. Aku mendengar suara tawa kecil, berasal dari arah lorong, kurasa Stephanie dan teman satu apartemen kami yang lain sedang berada disana sebelum pergi tidur. Kuputuskan untuk pergi kesana, dengan banyaknya jumlah orang yang ada disana kupikir semuanya akan baik-baik saja.
Aku berjalan menuju kamar mandi besar tersebut dimana aku bergabung dengan keramaian dua temanku. Mereka sedang ngobrol, Lindsay, teman satu apartemenku yang lain tertawa terbahak-bahak sehingga harus bersandar pada dinding agar tidak terjatuh. Namun tiba-tiba dia tersentak kedepan, seperti tersengat listrik. Kami semua menatapnya dengan heran, berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya berreaksi seperti itu : didinding, sekitar sama tinggi dengan bathtub, terdapat sebuah pintu kecil. Tidak ada satupun dari kami yang menyadari keberadaannya karena warnanya sama persis dengan warna dinding. Pemilik tempat nampaknya telah mengecatnya. Secara normal, hal ini cukup membuatku sedikit gugup. Apapun itu, pemilik tempat jelas tidak menginginkan siapapun untuk membukanya. Namun seperti biasanya, dengan mengabaikan semua hal, Lindsay meraih handle dan mulai menariknya semaunya sendiri. Stephanie hendak mencegahnya, namun Lindsay telah terlanjur mengeluarkan pisau saku. Dia mulai menggores kelim pintu itu. aku hendak memohon padanya untuk menghentikan semua tindakan gegabahnya, namun aku benar-benar tidak punya energy tersisa untuk berdebat malam itu. Selang beberapa menit, Lindsay berhasil membuka paksa pintu tersebut diiringi suara deritan nyaring.
Dibalik pintu tersebut ternyata terdapat sebuah ruangan yang biasanya digunakan tukang untuk memasang instalasi listrik atau ledeng. Ruangan ini cukup lebar. Kurasa tiga atau empat orang akan muat didalamnya. Cukup penasaran juga kenapa pemilik bangunan ini menyegel ruangan sempit seperti itu. ketika aku sedang asyik dengan pikiranku, Stephanie dan Lindsay sudah memanggil Alisha untuk melihat hasil temuan mereka. Dia Nampak begitu tertarik, sama seperti dua temanku yang lainnya. Namun seperti yang aku sangka, ketertarikan ini semakin berkurang ketika ternyata tempat tersebut hanya digunakan untuk menampung beberapa handuk dan keranjang cucian.
Keesokan harinya setelah ruang tersebut dijebol, mulai terjadi hal-hal aneh, dari menyeramkan menjadi terasa begitu mengerikan. Menyebalkannya lagi, Alisha mengubah rutinitas malamnya sehingga aku tidak bisa menggunakan kamar mandinya menjelang malam. Sekali lagi aku berada didalam kamar mandi luas itu, tiap saat, perasaan seperti sedang diawasi semakin hebat saja. aku menjadi begitu paranoid sehingga suara sekecil apapun akan membuatku melompat saking kagetnya, sesegera mungkin setelah aku menyelesaikan urusanku disana, aku akan berlari menyusuri lorong dan mengunci pintu. Untuk beberapa alasan nampaknya hanya aku yang mengalami hal ini. Aku memilih untuk tidak menceritakan hal ini kepada yang lain, aku sudah cukup merasa terasing, aku tidak ingin diperlakukan seperti orang sinting. Maka aku menyimpannya sendiri dan berharap bahwa semuanya akan berlalu.
Sayangnya masalahnya bukan hanya itu. pada suatu malam ketika aku hendak beranjak tidur, aku harus berada didalam kamar mandi itu… sendirian. Ketika aku berdiri didepan cermin untuk menggosok gigi, sesuatu menyebabkan bulu dibelakang leherku berdiri. Samar-samar, kudengar suara sesuatu berdesir. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh teman-temanku diujung flat. Suara yang dihasilkan oleh mereka bisa terdengar cukup keras. Namun suara ini begitu samar, lirih, seperti suara seseorang yang dengan hati-hati menggeser sesuatu. Dengan tegang, aku berdiri diam terpaku, terror memenuhi diriku. Suara lemah ini berasal dari arah ruangan kecil dibelakang bathtub. Aku segera berbalik dan berlari menyusuri lorong untuk mendapatkan perhatian dari teman-temanku. Aku mencoba menjelaskan pada mereka mengenai apa yang terjadi, namun yang keluar hanyalah bisikan terbata tak jelas dari mulutku.
Pada akhirnya aku berhasil untuk tergagap “S-sesuatu ada dibalik ruang kecil itu!”
Mereka menatapku dengan perasaan ngeri dan bingung yang bercampur. Kami semua segera menuju kamar mandi besar dimana ruangan kecil yang dibuka paksa itu berada. Aku hampir saja pingsan saat melihat pintu kecil yang sebelumnya tertutup kini terlihat terrenggang, sedikit terbuka menyisakan sebuah celah. Walaupun hal ini sungguh membuatku takut, Alisha dengan cepat menunjuk kearah sliding door di balkon. Stephanie membiarkannya terbuka setelah mandi beberapa jam yang lalu. Dia mengintip dari pintu dan menunjuk pada atap miring yang berdekatan dengan milik kami. Terdapat sebuah sarang burung dara disana, lengkap dengan beberapa burung yang mengitarinya. Mereka mengatakan bahwa burung-burung tersebut pasti telah masuk sehingga menghasilkan suara yang kumaksudkan. Mereka semua menertawaiku habis-habisan saat kami semua kembali menuju ruang tamu. Aku berpura-pura untuk mengabaikan itu semua, namun aku yakin, suara sebelumnya tidak mungkin ulah para merpati itu. lagipula pintu kecil tersebut tertutup rapat sepanjang hari sebelumnya. Tidak ada satupun dari kami yang mau membukanya karena bau pengap yang dihasilkannya. Dan lagi, saat aku meninggalkan kamar mandi sebelumnya, pintu kecil itu benar-benar masih dalam keadaan tertutup rapat. Tidak mungkin seekor merpati bisa membuka sebuah pintu.
Saat itulah aku mulai yakin bahwa apartemen ini sungguh bermasalah, ada sesuatu yang ganjil didalamnya. Ketika aku kemabli ke kamar aku mengambil laptopku dan menghubungi sahabat baikku via Skype. Dia merupakan orang yang selalu skeptic dan rasional, namun dia membuka dirinya terhadap segala sesuatunya yang memang sangat sulit untuk dijelaskan secara ilmiah. Kuputuskan bahwa dirinya merupakan orang yang paling tepat untuk tempatku mengadu mengenai masalah yang kuhadapi. Seperti yang sudah kusangka, dia cukup ragu. Namun dia setuju denganku bahwa tidak mungkin seekor merpati bisa membuka sebuah pintu yang tertutup rapat. Dia bertanya padaku apakah aku mempunyai foto dari ruang kecil itu. dia mengatakan jika dia bisa melihatnya, akan sangat membantunya untuk lebih memahami apa yang terjadi, dan mungkin akan membantunya juga untuk memberikan penjelasan yang lebih masuk akal.
Merasa lega akan niat baiknya, setidaknya untuk sekedar mendengarkan, kuambil kamera dan kembali menyusuri lorong gelap dan panjang tersebut. Ketika aku sampai, aku merasa lega juga sebab pintu tersebut masih tertutup rapat. Aku berdiri didepannya selang beberapa waktu, kukumpulkan semua keberanianku sebelum akhirnya membuka pintunya. Disamping semua barang-barang yang dijejalkan oleh teman-temanku, tidak ada hal lain didalamnya. Aku mengambil sebuah foto sebelum menutup kembali pintu tersebut dan berlari menuju kamar. Dengan bergegas kuhubungkan kamera dengan laptop dan mengupload foto yang baru saja kuambil. Ketika akhirnya aku membuka gambar tersebut, aku sungguh tertegun tak percaya atas apa yang aku lihat. Dipojok kanan atas terlihat sebuah wajah, memamerkan gigi-giginya kepadaku. Seluruh tubuhku sontak gemetar.
“Oh Tuhan. Sosok itu benar-benar ada didalam rumah kami!” Gumamku ngeri.
Rasa takut menguasaiku. Mereka telah mengurung apapun yang ada diruangan kecil itu, dan kami telah membebaskannya. Aku begitu panic, aku bahkan tidak sadar saat teman sekamarku kembali. Dia tidak paham akan bahaya yang sedang mengintai, bahkan walaupun aku mencoba untuk menjelaskannya, dia tidak akan percaya. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan, dan akhirnya kuputuskan untuk menghadapinya dipagi hari. Walaupun tidak ada teman, namun aku merasa lebih aman dengan adanya sinar matahari. Kuputuskan untuk tidur, memulihkan tenaga. Saat itulah, sejak pertama aku tiba disini, kukunci pintu kamar sebelum tidur. Stephanie menatapku dengan penuh kecurigaan, namun dengan nada bergurau kukatakan padanya bahwa Lindsay telah menyelinap kekamar kami dan mencuri nutellaku. Dia hanya tertawa, sebelum kemudian merebahkan badannya di atas ranjang. Harus kuakui bahwa satu-satunya alasan akhirnya aku bisa tertidur adalah karena keberadaan dirinya. Tidak sendirian dapat melahirkan perasaan aman.
Sekitar pukul dua pagi aku terbangun oleh sebuah suara. Aku gampang sekali terbangun hanya oleh sebuah suara kecil saja. Suara ini terdengar seperti suara pintu yang didorong diujung lain dari bangunan diikuti suara langkah. Namun suara langkah ini tidak seperti langkah normal. Terlalu cepat. Terdengar seperti suara orang yang tengah berlari kencang dari serambi menuju ruang tamu dan hampir diseluruh bagian apartemen. Namun suara ini tidak terdengar berat seperti yang dihasilkan dari suara orang yang benar-benar berlari. Suara itu terasa ringan, hampir terdengar ganjil.
Kupikir hal tersebut adalah ulah salah satu dari Alisha atau Lindsay, maka aku bangun dan menempelkan telingaku pada dinding yang memisahkan kamarku dengan kamar Lindsay. Aku dapat mendengar suara samar nafasnya yang teratur. Dia pastilah sedang tidur, tidak mungkin dirinya. Kutempelkan telingaku dibagian lain dinding kamarku dimana diseberangnya Alisha berada. Suara dengkurannya terdengar cukup keras, tidak mungkin dirinya pula yang menghasilkan suara diluar sana. Perlahan-lahan aku mulai merasa ketakutan, seandainya saja Stephanie meninggalkanku sendirian, namun aku dapat melihat dadanya naik-turun, dia masih tidur ditempatnya. Seketika tubuhku terasa merinding dan aku hampir saja menjerit ketika aku menyadari suara langkah itu berhenti tepat didepan kamarku. Walaupun semua lampu dimatikan, aku dapat melihat dengan jelas sesosok bayangan hitam terbentuk dari celah kecil dibawah pintu.
Aku tidak berani bergerak sedikitpun. Apapun itu, dia hanya berdiri disana. Menunggu. Kemudian horror berlanjut, kenop pintu kamarku mulai bergoncang. Awalnya lembut namun semakin keras begitu sadar bahwa pintu terkunci. Suara berisik yang dihasilkannya tentu saja membangunkan teman sekamarku. Dia terduduk, mengerjapkan matanya dengan bingung. Serentak goncangan pada kenop pintu berhenti. Dia bertanya padaku apa yang aku lakukan dan bertanya apakah aku sadar jam berapa saat itu. kukatakan padanya bahwa semua itu bukan perbuatanku! Kukatakan padanya bahwa apapun yang telah membuka ruangan kecil di kamar mandi besar sebelumnya kini kembali. Namun dia hanya mengerutkan keningnya dan mengatakan bahwa aku butuh lebih banyak istirahat.
Keesokan harinya aku membuat sebuah janji dengan supervisor programku. Kukatakan padanya bahwa aku harus segera pulang. Dia mengatakan padaku bahwa aku hanya mengalami homesick dan hal itu akan berlalu, namun aku tetap berkeras. Dia akhirnya menyerah dan mengijinkanku menelepon orang tuaku. Mereka bingung tapi cukup mengerti. Mereka berhasil mengubah jadwal pulangku menjadi keesokan paginya. Aku sungguh sangat ingin pergi hari itu juga, namun mereka hanya bisa menjanjikan keesokan paginya secepat yang bisa mereka usahakan. Sialnya hal ini berarti bahwa aku harus meluangkan satu malam lagi diapartemen itu.
Ketika aku kembali, kucoba untuk menjelaskan mengenai apa yang terjadi. Aku akan segera pergi dari sanna dan bisa lolos dari ancaman bahaya, namun aku sungguh mengkhawatirkan keselamatan mereka. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menganggapku serius. Mereka menganggap aku seperti layaknya wanita gila saja. mereka tidak mengatakan apapun kepadaku, namun aku yakin mereka semua menyangka alasan kepulanganku tidak lain adalah karena sebuah gangguan jiwa.
Pada titik itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk meyakinkan mereka. Maka malam itu kukunci pintu kamar dan dengan ragu kuputuskan untuk tidur. Dan seperti yang sudah kuperkirakan, sekali lagi sekitar pukul dua pagi, aku dibangunkan kembali oleh suara langkah cepat mengitari apartemen. Kudengar pintu kamar mandi berderit terbuka, diikuti oleh pintu diujung lorong. Suara langkah terdengar semakin nyaring dan cepat ketika memasuki ruang apartemen. Dan akhirnya, kembali, suara itu berhenti tepat didepan pintu kamarku. Aku dapat mendengar suara dengusan nafas kali ini, perlahan dan berat. Aku duduk dalam keadaan panic, dan yang membuatku merasa ngeri lagi ternyata Stephanie lupa mengunci kembali pintu setelah menggunakan kamar kecil.
Dia berada tepat didepan pintu kamar dan aku tidak yakin apakah waktuku cukup untuk melompat dan menguncinya sebelum sosok itu menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang menghalanginya untuk masuk. Keraguanku ternyata terlalu lama, ketika akhirnya aku terduduk penuh diatas ranjang, kenop pintu dengan perlahan mulai berputar. Aku terpaku, terror menguasaiku saat kulihat pintu perlahan terbuka menunjukan sosok mengerikan itu. sosok itu berdiri dengan uas didepan pintu masuk, menatapku. Matanya menonjol keluar dari tengkoraknya, memantulkan cahaya kebiruan samar. Dia tidak mempunayi hidung, hanya celah kecil saja yang menggantikan letak batang hidung. Dia memilliki gigi manusia, namun tidak memiliki bibir, sehingga memberikan kesan bahwa dia selalu menyeringai. Kulitnya yang putih keabuan terlihat berlendir dan meregang ketat diwajah kurusnya. Sisa bentuk tubuhnya yang kurus sulit untuk digambarkan seolah-olah hampir sisanya tertutup oleh bayangan gelap.
Setelah berhenti sejenak didepan pintu, dia mulai bergerak menuju arahku. Ketika bergerak, tubuhnya menghasilkan suara gemeretak. Aku masih saja duduk, membatu oleh perasaan ngeri sampai sosok itu sampai didepan ranjangku. Suara nafasnya yang berat terdengar begitu keras. Aku tidak tahu kenapa Stephanie tetap tertidur. Udara menjadi tercium asam dan pekat.
Dengan kecepatan yang mengerikan, sosok itu melompat keujung lain dari ranjang, menyisakan jarak beberapa kaki dariku. Aku tersedak oleh bau darinya, seperti bau belerang bercampur dengan daging busuk. Perlahan dia membentangkan tangannya hendak meraihku. Ketika hanya berjarak beberapa inci dari diriku, akhirnya suaraku kembali. Aku berteriak sekencang mungkin dan dia terhenti. Stephanie terlonjak dari tidurnya, Nampak ketakutan. Mahluk tersebut membungkuk dan kemudian merangkak menggunakan dua kaki dan tangannya, kabur dari kamar. Gerakannya sungguh terlihat ganjil dan begitu cepat, mengingatkanku pada gerakan laba-laba. beberapa detik kemudian Stephanie menyalakan lampu dan menatapku dengan marah. Dia meminta penjelasan kepadaku mengenai apa yang sebenarnya terjadi. aku menceritakan kepadanya tepat seperti apa yang baru saja terjadi, namun dia hanya menganggapku sinting
Taksi datang menjemputku pagi-pagi sekali. Matahari bahkan belum terbit. Tidak ada satupun teman-temanku mengantar aku pergi, dan aku sudah bisa mengiranya. Setelah mengangkut semua bawaanku kedalam bagasi, aku segera naik keatas bangku penumpang. Saat itu taksi ini sedang berkendara mengitari alun-alun dan kebetulan berhenti didepan bangunan apartemen kami. Ketika aku bersandar dan mengarahkan pandanganku kearah jendela aku dapat melihat ruangan yang kutempati sebelumnya. Perasaan panic dan khawatir bercampur dalam diriku. Disana, dibalik jendela, mahluk itu berada. Matanya yang tidak pernah berkdeip melotot kearahku dan mulutnya yang tak berbibir membentuk sebuah seringai. Sebelum aku bisa mengatakan apapun, sopir taksi sedah membawaku pergi, meninggalkan gedung terkutuk itu.
Aku berusaha untuk memperingatkan mereka. Aku benar-benar melakukanya. Aku melakukan semua kemampuanku untuk memperingatkan mereka akan bahaya yang mengintai, namun tidak ada seorangpun yang mendengarku. Tidak mungkin aku mencegah apa yang akan terjadi saat aku sampai dirumah.
Beberapa minggu setelah aku samapi di Amerika, aku menerima sebuah telepon dari pimpinan penyelenggara program. Dia menyampaikan sebuah berita bahwa satu haru sebelum program berakhir, ketiga teman satu apartemenku dilaporkan menghilang. Pihak berwenang tidak tahu berapa lama mereka telah menghilang. Mereka hanya dilaporkan menghilang pada saat pimpinan program pergi mengecek mereka karena tidak ada satupun dari mereka yang menghadiri rapat akhir, dan ternyata mereka tidak ada ditempat. Mereka memperkirakan bahwa setidaknya sekitar satu atau dua minggu mereka telah menghilang, disimpulkan dari makanan yang ada diapartemen telah kadaluwarsa. Tidak ada tanda-tanda masuk secara paksa, tidak ada barang berharga yang hilang. Satu-satunya catatan detail yang disebutkan dalam laporan adalah pada saat mereka sampai di TKP terdapat sebuah pintu kecil aneh yang sedikit terbuka di kamar mandi.ketika mereka mendekatinya, munculah bau yang sangat menyengat yang bersumber entah dari apa. Laporan resmi mengatakan bahwa mereka menghilang, namun aku tahu bahwa mereka semua telah mati.
Aku tahu bahwa aku sungguh sangat beruntung karena bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup. Kupikir satu-satunya alasan kenapa aku masih hidup sampai sekarang adalah karena aku kabur dengan melintasi ribuan mil dan menyeberangi lautan. Walaupun mreka memang tidak pernah mendengarkanku, aku masih merasakan sangat bersalah atas apa yang menimpa para gadis tersebut. Itulah kenapa aku menulis semua ini. aku memang tidak bisa memutar waktu kembali untuk menyelamatkan mereka, namun mungkin aku dapat mencegah semua ini agar tidak menimpa kalian. Jika kalian mendapatkan kesempatan untuk belajar diluar negeri ingatlah satu hal. Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggal dilantai tiga dari apartemen kuno berwarna kuning dikomplek sekitar Campo di Fiori. Ada sesuatu yang tinggal disana. Sesuatu yang sangat jahat.
Retold and translated by –Jason-
Source : Creepypasta
Credit To – Kaitie H.
Hi semuanya. Kukira kalian bisamenyebut tulisanku ini sebagai sebuah kisah peringatan kepada siapapun yang berencana untuk bersekolah diluar negeri dimasa mendatang. Aku tidak bermaksud mengecilkan semangat kalian untuk melakukannya, namun aku hanya ingin agar kalian lebih berhati-hati akan sesuatu sehingga hal ini tidak terjadi pada kalian juga. Kurasa aku harus menjelaskan sedikit disini. Musim panas yang lalu aku terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar antar negara yang rencananya akan berpusat di Roma selama beberapa bulan. Seperti yang lainnya, tentu saja aku girang bukan main. Aku belum pernah keluar negeri selama ini, maka hal ini akan menjadi sebuah petualangan yang sangat menantang bagiku.
Dalam minggu-minggu berikutnya yang penuh kebahagiaan, aku megepak semua barang yang bisa masuk kedalam kopor. (Kuakui aku terlalu banyak membawa barang untuk perjalanan ini.) awalnya aku sungguh merasa sangat gugup untuk meninggalkan kedua orang tuaku, namun disisi lain aku juga sudah tidak sabar untuk segera pergi untuk menikmati kebebasan selama berada di Eropa. Sebelum aku sadar, kedua orangtuaku sudah mengantarkanku ke airport, dan aku sudah berada didalam pesawat, terbang selama 19 jam lamanya menuju Roma.
Meskipun lama dan membosankan, penerbangan ini tidak terlalu buruk. Ketika keluar dari airport, aku disambut oleh supervisor program dan beberapa pelajar lain seumuranku yang sama gembiranya sepertiku. Mereka meupakan para pelajar yang akan belajar bersama denganku. Kami kemudian menghadiri pertemuan orientasi, setelah itu kami mengambil kunci apartemen masing-masing.
Pada bulan-bulan sebelum semuanya dimulai, kami diharuskan mengakrabkan diri dengan masing-masing teman satu kamar, begitu juga mengenai masalah penentuan tempat yang cocok bagi kami semua. Aku satu kelompok dengan tiga gadis lainnya. Mereka cukup baik dan cukup membuatku betah dan merasa diterima walaupun tidak dipungkiri agak susah juga untuk mengakrabkan diri pada awalnya. Tapi aku berusaha mengabaikan keterasinganku, semakin kedepan, semuanya menjadi semakin lebih baik. Kami semua memiliki rencana pengeluaran yang hampir sama, tidak ada satupun dari kami yang memiliki uang berlebih. Karena hal ini kami semua berusaha mencari apartemen semurah mungkin untuk kami tinggali.
Setelah beberapa hari mencari, kami menemukan sebuah iklan mengenai sebuah apartemen kuno yang terletak di Campo di Fiori. Tempat ini berada di lokasi utama dan kami sungguh tidak percaya bahwa tempat ini masih belum ada yang menyewanya, belum lagi harga yang tertera sungguh sangat murah. Hal ini sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar dikepalaku. Tempat ini begitu besarnya tapi uang sewanya lebih murah dari apartemen terkecil yang berada ditempat yang kurang begitu diminati. Namun apapun alasan yang muncul, semua itu terkalahkan oleh kegembiraan yang melanda para gadis muda. Mereka sudah menetapkan tempat tersebut sebagai apartemen mereka sehingga aku tidak punya pilihan lain.
Masing-masing dari kami menerima kunci, beserta sebuah peta agar kami tidak tersesat. Karena tempat ini berada di lokasi favorit, tidak butuh waktu lama sampai akhirnya kami tiba disana. Campo sangat menakjubkan. Pada siang hari, tempat ini diramaikan oleh hiruk pikuk pasar, sedangkan pada malam hari tempat ini diramaikan oleh atraksi jalanan. Semua apartemen yang mengelilingi tempat ini kebanyakan memang bergaya kuno, sehingga tempat kami tidak begitu mencolok sebenarnya. Setelah mengelilingi alun-alun beberapa kali, kami akhirnya menemukan nomor apartemen yang terpaku didepan sebuah kayu tua besar. Disinilah kami akan tinggal selama tiga bulan kedepan.
Aku harus berjuang keras untuk membuka pintu kokoh ini menggunakan kunciku. Pintu kayu besar dan tebal tersebut kemudian terbuka dengan suara deritan yang menyertai. Didepan kami menunggu sebuah tangga memutar. Kami saling berpandangan, terperangah. Kami tidak memperhitungkan kenyataan bahwa bangunan ini dibangun saat lift masih merupakan hal yang asing. Dengan masing-masing tangan menggenggam barang barang, kami berdiri didepan pintu kediaman baru kami, tiga set anak tangga yang tampak akan melelahkan dan beberapa keluhan kami simpan dulu. Kembali aku harus bekerja ekstra keras untuk membuka kunci pintu. Begitu pintu depan terbuka, para gadis langsung rebut, merebutkan ruangan paling bagus. Apartemen ini memiliki tiga ruang tidur, yang berarti bahwa dua diantara kami harus berbagi ranjang. Aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, kubiarkan yang lain saling berlomba. Ketika semuanya reda, diputuskan bahwa akulah yang harus berbagi kamar dengan seorang gadis dalam kelompok bernama Stephanie. Tidak masalah bagiku. Stephanie merupakan gadis yang cukup baik dan pendiam, sosok ideal bagiku sebagai teman sekamar.
Selama sisa hari itu kami menjelajahi tiap sudut apartemen baru kami. Ada dua kamar mandi, satu set penuh dapur, dan satu ruang tamu dimana terdapat sebuah TV kuno didalamnya. Sekali lagi aku merasa tidak nyaman. Bagaimana bisa apartemen sebesar ini disewakan dengan harga yang begitu murah? Namun sebelum aku merampungkan keherananku, sebuah pekikan mengalihkan semuanya. Reaksi pertama yang muncul sebenarnya adalah rasa panic, namun kemudian ternyata pekikan tersebut adalah suara teman-temanku yang menjerit girang. Pada bagian bawah menjelang ujung apartemen, dekat dengan pintu depan, nampaknya terdapat bagian lain dari bangunan ini yang luput dari perhatian kami. Aku mengikuti suara tersebut yang ternyata mengarahkanku pada sebuah lorong panjang dan gelap. Diujung sana, dibelakang kumpulan teman-temanku yang sedang berisik, terdapat sebuah mesin cuci dan alat pengering. Mungkin bagi kalian hal ini tidak begitu penting, namun harus aku jelaskan disini bahwa barang-barang tersebut merupakan barang-barang yang sangat langka di Roma. Umumnya para pelajar yang mengikuti program pertukaran harus mencuci baju mereka secara manual, dengan tangan mereka sendiri. Kehadiran benda-benda mewah ini cukup aneh, apalagi berada di sebuah apartemen murah.
Pekikan girang lain kembali terdengar ketika para gadis melihat sebuah pintu berdekatan dengan mesin cuci. Dibalik pintu tersebut terdapat sebuah kamar mandi utama yang besar. Ruangan ini memiliki sebuah balkon, bathtub claw-foot, bahkan terdapat sebuah bidet pula. Tidak perlu terkejut ketika mereka mulai berebut kembali. Cukup heran sebenarnya bagiku, kenapa kami tidak saling berbagi saja? namun nampaknya bagi mereka, klaim atas kepemilikan pribadi property ini begitu penting. Ketika semua berakhir, ruangan ini diputuskan untuk menjadi milikku. Dengan penjelasan logis, Stephanie mengatakan bahwa kali ini adalah giliran kami, sebab yang lain sudah memiliki kamar tidur sendiri sedangkan aku dan dia harus saling berbagi kamar, maka cukup adil rasanya jika kami berdua memiliki kamar mandi ini. harus kuakui, awalnya aku cukup senang juga, bagaimanapun kamar mandi ini sangatlah indah. Namun selang beberapa minggu kedepan, aku semakin merasakan tidak nyaman tiap kali berada di ruangan tersebut. Aku tidak bisa menggambarkannya lewat kata-kata. Tiap kali memasukinya, aku merasa sepasang mata mengawasiku. Bukan masalah klasik tersebut yang selalu menyebabkanku merasa takut. Namun aku merasa, apapun yang mengawasiku tersebut, sungguh merasa marah, serasa bahwa hal tersebut tidak senang aku berada disana sehingga hendak melukaiku.
Aku mulai melakukan segala sesuatunya agar bisa menghindari tempat itu. Terkadang aku meminta ijin pada Alisha untuk menggunakan kamar mandinya. Kerapkali aku mengarang alasan konyol bahwa untuk menuju kesana sungguh terlalu jauh, lebih dekat bagiku untuk menggunakan miliknya. Dengan senang dia mengijinkan, sebab disisi lain aku juga mengatakan padanya bahwa dia bisa menggunakan kamar mandiku kapanpun yang dia mau. Hal ini cukup berhasil selama beberapa waktu. Selama sekitar dua bulan pertama dari kunjunganku ini, aku berhasil menghindari ruangan menyeramkan itu. Hingga akhirnya pada bulan terakhir semuanya mulai erkuak. Pada suatu malam aku bersiap untuk menggosok gigi, namun Alisha sudah mengunci kamarnya. Aku mendengar suara tawa kecil, berasal dari arah lorong, kurasa Stephanie dan teman satu apartemen kami yang lain sedang berada disana sebelum pergi tidur. Kuputuskan untuk pergi kesana, dengan banyaknya jumlah orang yang ada disana kupikir semuanya akan baik-baik saja.
Aku berjalan menuju kamar mandi besar tersebut dimana aku bergabung dengan keramaian dua temanku. Mereka sedang ngobrol, Lindsay, teman satu apartemenku yang lain tertawa terbahak-bahak sehingga harus bersandar pada dinding agar tidak terjatuh. Namun tiba-tiba dia tersentak kedepan, seperti tersengat listrik. Kami semua menatapnya dengan heran, berusaha mencari tahu apa yang menyebabkan dirinya berreaksi seperti itu : didinding, sekitar sama tinggi dengan bathtub, terdapat sebuah pintu kecil. Tidak ada satupun dari kami yang menyadari keberadaannya karena warnanya sama persis dengan warna dinding. Pemilik tempat nampaknya telah mengecatnya. Secara normal, hal ini cukup membuatku sedikit gugup. Apapun itu, pemilik tempat jelas tidak menginginkan siapapun untuk membukanya. Namun seperti biasanya, dengan mengabaikan semua hal, Lindsay meraih handle dan mulai menariknya semaunya sendiri. Stephanie hendak mencegahnya, namun Lindsay telah terlanjur mengeluarkan pisau saku. Dia mulai menggores kelim pintu itu. aku hendak memohon padanya untuk menghentikan semua tindakan gegabahnya, namun aku benar-benar tidak punya energy tersisa untuk berdebat malam itu. Selang beberapa menit, Lindsay berhasil membuka paksa pintu tersebut diiringi suara deritan nyaring.
Dibalik pintu tersebut ternyata terdapat sebuah ruangan yang biasanya digunakan tukang untuk memasang instalasi listrik atau ledeng. Ruangan ini cukup lebar. Kurasa tiga atau empat orang akan muat didalamnya. Cukup penasaran juga kenapa pemilik bangunan ini menyegel ruangan sempit seperti itu. ketika aku sedang asyik dengan pikiranku, Stephanie dan Lindsay sudah memanggil Alisha untuk melihat hasil temuan mereka. Dia Nampak begitu tertarik, sama seperti dua temanku yang lainnya. Namun seperti yang aku sangka, ketertarikan ini semakin berkurang ketika ternyata tempat tersebut hanya digunakan untuk menampung beberapa handuk dan keranjang cucian.
Keesokan harinya setelah ruang tersebut dijebol, mulai terjadi hal-hal aneh, dari menyeramkan menjadi terasa begitu mengerikan. Menyebalkannya lagi, Alisha mengubah rutinitas malamnya sehingga aku tidak bisa menggunakan kamar mandinya menjelang malam. Sekali lagi aku berada didalam kamar mandi luas itu, tiap saat, perasaan seperti sedang diawasi semakin hebat saja. aku menjadi begitu paranoid sehingga suara sekecil apapun akan membuatku melompat saking kagetnya, sesegera mungkin setelah aku menyelesaikan urusanku disana, aku akan berlari menyusuri lorong dan mengunci pintu. Untuk beberapa alasan nampaknya hanya aku yang mengalami hal ini. Aku memilih untuk tidak menceritakan hal ini kepada yang lain, aku sudah cukup merasa terasing, aku tidak ingin diperlakukan seperti orang sinting. Maka aku menyimpannya sendiri dan berharap bahwa semuanya akan berlalu.
Sayangnya masalahnya bukan hanya itu. pada suatu malam ketika aku hendak beranjak tidur, aku harus berada didalam kamar mandi itu… sendirian. Ketika aku berdiri didepan cermin untuk menggosok gigi, sesuatu menyebabkan bulu dibelakang leherku berdiri. Samar-samar, kudengar suara sesuatu berdesir. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh teman-temanku diujung flat. Suara yang dihasilkan oleh mereka bisa terdengar cukup keras. Namun suara ini begitu samar, lirih, seperti suara seseorang yang dengan hati-hati menggeser sesuatu. Dengan tegang, aku berdiri diam terpaku, terror memenuhi diriku. Suara lemah ini berasal dari arah ruangan kecil dibelakang bathtub. Aku segera berbalik dan berlari menyusuri lorong untuk mendapatkan perhatian dari teman-temanku. Aku mencoba menjelaskan pada mereka mengenai apa yang terjadi, namun yang keluar hanyalah bisikan terbata tak jelas dari mulutku.
Pada akhirnya aku berhasil untuk tergagap “S-sesuatu ada dibalik ruang kecil itu!”
Mereka menatapku dengan perasaan ngeri dan bingung yang bercampur. Kami semua segera menuju kamar mandi besar dimana ruangan kecil yang dibuka paksa itu berada. Aku hampir saja pingsan saat melihat pintu kecil yang sebelumnya tertutup kini terlihat terrenggang, sedikit terbuka menyisakan sebuah celah. Walaupun hal ini sungguh membuatku takut, Alisha dengan cepat menunjuk kearah sliding door di balkon. Stephanie membiarkannya terbuka setelah mandi beberapa jam yang lalu. Dia mengintip dari pintu dan menunjuk pada atap miring yang berdekatan dengan milik kami. Terdapat sebuah sarang burung dara disana, lengkap dengan beberapa burung yang mengitarinya. Mereka mengatakan bahwa burung-burung tersebut pasti telah masuk sehingga menghasilkan suara yang kumaksudkan. Mereka semua menertawaiku habis-habisan saat kami semua kembali menuju ruang tamu. Aku berpura-pura untuk mengabaikan itu semua, namun aku yakin, suara sebelumnya tidak mungkin ulah para merpati itu. lagipula pintu kecil tersebut tertutup rapat sepanjang hari sebelumnya. Tidak ada satupun dari kami yang mau membukanya karena bau pengap yang dihasilkannya. Dan lagi, saat aku meninggalkan kamar mandi sebelumnya, pintu kecil itu benar-benar masih dalam keadaan tertutup rapat. Tidak mungkin seekor merpati bisa membuka sebuah pintu.
Saat itulah aku mulai yakin bahwa apartemen ini sungguh bermasalah, ada sesuatu yang ganjil didalamnya. Ketika aku kemabli ke kamar aku mengambil laptopku dan menghubungi sahabat baikku via Skype. Dia merupakan orang yang selalu skeptic dan rasional, namun dia membuka dirinya terhadap segala sesuatunya yang memang sangat sulit untuk dijelaskan secara ilmiah. Kuputuskan bahwa dirinya merupakan orang yang paling tepat untuk tempatku mengadu mengenai masalah yang kuhadapi. Seperti yang sudah kusangka, dia cukup ragu. Namun dia setuju denganku bahwa tidak mungkin seekor merpati bisa membuka sebuah pintu yang tertutup rapat. Dia bertanya padaku apakah aku mempunyai foto dari ruang kecil itu. dia mengatakan jika dia bisa melihatnya, akan sangat membantunya untuk lebih memahami apa yang terjadi, dan mungkin akan membantunya juga untuk memberikan penjelasan yang lebih masuk akal.
Merasa lega akan niat baiknya, setidaknya untuk sekedar mendengarkan, kuambil kamera dan kembali menyusuri lorong gelap dan panjang tersebut. Ketika aku sampai, aku merasa lega juga sebab pintu tersebut masih tertutup rapat. Aku berdiri didepannya selang beberapa waktu, kukumpulkan semua keberanianku sebelum akhirnya membuka pintunya. Disamping semua barang-barang yang dijejalkan oleh teman-temanku, tidak ada hal lain didalamnya. Aku mengambil sebuah foto sebelum menutup kembali pintu tersebut dan berlari menuju kamar. Dengan bergegas kuhubungkan kamera dengan laptop dan mengupload foto yang baru saja kuambil. Ketika akhirnya aku membuka gambar tersebut, aku sungguh tertegun tak percaya atas apa yang aku lihat. Dipojok kanan atas terlihat sebuah wajah, memamerkan gigi-giginya kepadaku. Seluruh tubuhku sontak gemetar.
“Oh Tuhan. Sosok itu benar-benar ada didalam rumah kami!” Gumamku ngeri.
Rasa takut menguasaiku. Mereka telah mengurung apapun yang ada diruangan kecil itu, dan kami telah membebaskannya. Aku begitu panic, aku bahkan tidak sadar saat teman sekamarku kembali. Dia tidak paham akan bahaya yang sedang mengintai, bahkan walaupun aku mencoba untuk menjelaskannya, dia tidak akan percaya. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan, dan akhirnya kuputuskan untuk menghadapinya dipagi hari. Walaupun tidak ada teman, namun aku merasa lebih aman dengan adanya sinar matahari. Kuputuskan untuk tidur, memulihkan tenaga. Saat itulah, sejak pertama aku tiba disini, kukunci pintu kamar sebelum tidur. Stephanie menatapku dengan penuh kecurigaan, namun dengan nada bergurau kukatakan padanya bahwa Lindsay telah menyelinap kekamar kami dan mencuri nutellaku. Dia hanya tertawa, sebelum kemudian merebahkan badannya di atas ranjang. Harus kuakui bahwa satu-satunya alasan akhirnya aku bisa tertidur adalah karena keberadaan dirinya. Tidak sendirian dapat melahirkan perasaan aman.
Sekitar pukul dua pagi aku terbangun oleh sebuah suara. Aku gampang sekali terbangun hanya oleh sebuah suara kecil saja. Suara ini terdengar seperti suara pintu yang didorong diujung lain dari bangunan diikuti suara langkah. Namun suara langkah ini tidak seperti langkah normal. Terlalu cepat. Terdengar seperti suara orang yang tengah berlari kencang dari serambi menuju ruang tamu dan hampir diseluruh bagian apartemen. Namun suara ini tidak terdengar berat seperti yang dihasilkan dari suara orang yang benar-benar berlari. Suara itu terasa ringan, hampir terdengar ganjil.
Kupikir hal tersebut adalah ulah salah satu dari Alisha atau Lindsay, maka aku bangun dan menempelkan telingaku pada dinding yang memisahkan kamarku dengan kamar Lindsay. Aku dapat mendengar suara samar nafasnya yang teratur. Dia pastilah sedang tidur, tidak mungkin dirinya. Kutempelkan telingaku dibagian lain dinding kamarku dimana diseberangnya Alisha berada. Suara dengkurannya terdengar cukup keras, tidak mungkin dirinya pula yang menghasilkan suara diluar sana. Perlahan-lahan aku mulai merasa ketakutan, seandainya saja Stephanie meninggalkanku sendirian, namun aku dapat melihat dadanya naik-turun, dia masih tidur ditempatnya. Seketika tubuhku terasa merinding dan aku hampir saja menjerit ketika aku menyadari suara langkah itu berhenti tepat didepan kamarku. Walaupun semua lampu dimatikan, aku dapat melihat dengan jelas sesosok bayangan hitam terbentuk dari celah kecil dibawah pintu.
Aku tidak berani bergerak sedikitpun. Apapun itu, dia hanya berdiri disana. Menunggu. Kemudian horror berlanjut, kenop pintu kamarku mulai bergoncang. Awalnya lembut namun semakin keras begitu sadar bahwa pintu terkunci. Suara berisik yang dihasilkannya tentu saja membangunkan teman sekamarku. Dia terduduk, mengerjapkan matanya dengan bingung. Serentak goncangan pada kenop pintu berhenti. Dia bertanya padaku apa yang aku lakukan dan bertanya apakah aku sadar jam berapa saat itu. kukatakan padanya bahwa semua itu bukan perbuatanku! Kukatakan padanya bahwa apapun yang telah membuka ruangan kecil di kamar mandi besar sebelumnya kini kembali. Namun dia hanya mengerutkan keningnya dan mengatakan bahwa aku butuh lebih banyak istirahat.
Keesokan harinya aku membuat sebuah janji dengan supervisor programku. Kukatakan padanya bahwa aku harus segera pulang. Dia mengatakan padaku bahwa aku hanya mengalami homesick dan hal itu akan berlalu, namun aku tetap berkeras. Dia akhirnya menyerah dan mengijinkanku menelepon orang tuaku. Mereka bingung tapi cukup mengerti. Mereka berhasil mengubah jadwal pulangku menjadi keesokan paginya. Aku sungguh sangat ingin pergi hari itu juga, namun mereka hanya bisa menjanjikan keesokan paginya secepat yang bisa mereka usahakan. Sialnya hal ini berarti bahwa aku harus meluangkan satu malam lagi diapartemen itu.
Ketika aku kembali, kucoba untuk menjelaskan mengenai apa yang terjadi. Aku akan segera pergi dari sanna dan bisa lolos dari ancaman bahaya, namun aku sungguh mengkhawatirkan keselamatan mereka. Namun tidak ada satupun dari mereka yang menganggapku serius. Mereka menganggap aku seperti layaknya wanita gila saja. mereka tidak mengatakan apapun kepadaku, namun aku yakin mereka semua menyangka alasan kepulanganku tidak lain adalah karena sebuah gangguan jiwa.
Pada titik itu, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi untuk meyakinkan mereka. Maka malam itu kukunci pintu kamar dan dengan ragu kuputuskan untuk tidur. Dan seperti yang sudah kuperkirakan, sekali lagi sekitar pukul dua pagi, aku dibangunkan kembali oleh suara langkah cepat mengitari apartemen. Kudengar pintu kamar mandi berderit terbuka, diikuti oleh pintu diujung lorong. Suara langkah terdengar semakin nyaring dan cepat ketika memasuki ruang apartemen. Dan akhirnya, kembali, suara itu berhenti tepat didepan pintu kamarku. Aku dapat mendengar suara dengusan nafas kali ini, perlahan dan berat. Aku duduk dalam keadaan panic, dan yang membuatku merasa ngeri lagi ternyata Stephanie lupa mengunci kembali pintu setelah menggunakan kamar kecil.
Dia berada tepat didepan pintu kamar dan aku tidak yakin apakah waktuku cukup untuk melompat dan menguncinya sebelum sosok itu menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang menghalanginya untuk masuk. Keraguanku ternyata terlalu lama, ketika akhirnya aku terduduk penuh diatas ranjang, kenop pintu dengan perlahan mulai berputar. Aku terpaku, terror menguasaiku saat kulihat pintu perlahan terbuka menunjukan sosok mengerikan itu. sosok itu berdiri dengan uas didepan pintu masuk, menatapku. Matanya menonjol keluar dari tengkoraknya, memantulkan cahaya kebiruan samar. Dia tidak mempunayi hidung, hanya celah kecil saja yang menggantikan letak batang hidung. Dia memilliki gigi manusia, namun tidak memiliki bibir, sehingga memberikan kesan bahwa dia selalu menyeringai. Kulitnya yang putih keabuan terlihat berlendir dan meregang ketat diwajah kurusnya. Sisa bentuk tubuhnya yang kurus sulit untuk digambarkan seolah-olah hampir sisanya tertutup oleh bayangan gelap.
Setelah berhenti sejenak didepan pintu, dia mulai bergerak menuju arahku. Ketika bergerak, tubuhnya menghasilkan suara gemeretak. Aku masih saja duduk, membatu oleh perasaan ngeri sampai sosok itu sampai didepan ranjangku. Suara nafasnya yang berat terdengar begitu keras. Aku tidak tahu kenapa Stephanie tetap tertidur. Udara menjadi tercium asam dan pekat.
Dengan kecepatan yang mengerikan, sosok itu melompat keujung lain dari ranjang, menyisakan jarak beberapa kaki dariku. Aku tersedak oleh bau darinya, seperti bau belerang bercampur dengan daging busuk. Perlahan dia membentangkan tangannya hendak meraihku. Ketika hanya berjarak beberapa inci dari diriku, akhirnya suaraku kembali. Aku berteriak sekencang mungkin dan dia terhenti. Stephanie terlonjak dari tidurnya, Nampak ketakutan. Mahluk tersebut membungkuk dan kemudian merangkak menggunakan dua kaki dan tangannya, kabur dari kamar. Gerakannya sungguh terlihat ganjil dan begitu cepat, mengingatkanku pada gerakan laba-laba. beberapa detik kemudian Stephanie menyalakan lampu dan menatapku dengan marah. Dia meminta penjelasan kepadaku mengenai apa yang sebenarnya terjadi. aku menceritakan kepadanya tepat seperti apa yang baru saja terjadi, namun dia hanya menganggapku sinting
Taksi datang menjemputku pagi-pagi sekali. Matahari bahkan belum terbit. Tidak ada satupun teman-temanku mengantar aku pergi, dan aku sudah bisa mengiranya. Setelah mengangkut semua bawaanku kedalam bagasi, aku segera naik keatas bangku penumpang. Saat itu taksi ini sedang berkendara mengitari alun-alun dan kebetulan berhenti didepan bangunan apartemen kami. Ketika aku bersandar dan mengarahkan pandanganku kearah jendela aku dapat melihat ruangan yang kutempati sebelumnya. Perasaan panic dan khawatir bercampur dalam diriku. Disana, dibalik jendela, mahluk itu berada. Matanya yang tidak pernah berkdeip melotot kearahku dan mulutnya yang tak berbibir membentuk sebuah seringai. Sebelum aku bisa mengatakan apapun, sopir taksi sedah membawaku pergi, meninggalkan gedung terkutuk itu.
Aku berusaha untuk memperingatkan mereka. Aku benar-benar melakukanya. Aku melakukan semua kemampuanku untuk memperingatkan mereka akan bahaya yang mengintai, namun tidak ada seorangpun yang mendengarku. Tidak mungkin aku mencegah apa yang akan terjadi saat aku sampai dirumah.
Beberapa minggu setelah aku samapi di Amerika, aku menerima sebuah telepon dari pimpinan penyelenggara program. Dia menyampaikan sebuah berita bahwa satu haru sebelum program berakhir, ketiga teman satu apartemenku dilaporkan menghilang. Pihak berwenang tidak tahu berapa lama mereka telah menghilang. Mereka hanya dilaporkan menghilang pada saat pimpinan program pergi mengecek mereka karena tidak ada satupun dari mereka yang menghadiri rapat akhir, dan ternyata mereka tidak ada ditempat. Mereka memperkirakan bahwa setidaknya sekitar satu atau dua minggu mereka telah menghilang, disimpulkan dari makanan yang ada diapartemen telah kadaluwarsa. Tidak ada tanda-tanda masuk secara paksa, tidak ada barang berharga yang hilang. Satu-satunya catatan detail yang disebutkan dalam laporan adalah pada saat mereka sampai di TKP terdapat sebuah pintu kecil aneh yang sedikit terbuka di kamar mandi.ketika mereka mendekatinya, munculah bau yang sangat menyengat yang bersumber entah dari apa. Laporan resmi mengatakan bahwa mereka menghilang, namun aku tahu bahwa mereka semua telah mati.
Aku tahu bahwa aku sungguh sangat beruntung karena bisa keluar dari sana dalam keadaan hidup. Kupikir satu-satunya alasan kenapa aku masih hidup sampai sekarang adalah karena aku kabur dengan melintasi ribuan mil dan menyeberangi lautan. Walaupun mreka memang tidak pernah mendengarkanku, aku masih merasakan sangat bersalah atas apa yang menimpa para gadis tersebut. Itulah kenapa aku menulis semua ini. aku memang tidak bisa memutar waktu kembali untuk menyelamatkan mereka, namun mungkin aku dapat mencegah semua ini agar tidak menimpa kalian. Jika kalian mendapatkan kesempatan untuk belajar diluar negeri ingatlah satu hal. Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggal dilantai tiga dari apartemen kuno berwarna kuning dikomplek sekitar Campo di Fiori. Ada sesuatu yang tinggal disana. Sesuatu yang sangat jahat.
THE END
Post a Comment - Back to Content